BAB I
PENDAHULUAN
Ijtihad
adalah sebagai salah satu usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam
upaya mengetahui atau menetapkan hukum syariat. Menurut pengertian kebahasaan
kata Ijtihad berasal dari bahasa
arab yang kata kerjanya “jahada” yang atinya berusaha dengan sungguh-sungguh, menurut istilah dalam ilmu fiqih ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-qur’an dan hadits dengan syarat syarat tertentu. Banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karenanya islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan Ijtihad. Ijtihad sebagaimana telah dijelaskan di atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut.Dengan ijtihad masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
arab yang kata kerjanya “jahada” yang atinya berusaha dengan sungguh-sungguh, menurut istilah dalam ilmu fiqih ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-qur’an dan hadits dengan syarat syarat tertentu. Banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karenanya islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan Ijtihad. Ijtihad sebagaimana telah dijelaskan di atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut.Dengan ijtihad masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
Pada
Bab makalah ini akan dibahas tentang ijtihad, yang meliputi ; pengertian hukum,
fungsi dan bentuk dan syarat-syarat ijtihad. Pada bagian awal akan dipaparkan
mengenai pengertian ijtihad baik secara etimologis, maupun terminologis. Pada
bagian kedua akan dipaparkan mengenai hukum,syarat-syarat dan bentuk-bentuk
ijtihad. Sedangkan pada bagian akhir,akan diuraikan masalah fungsi serta
kedudukan ijtihad dalam ajaran islam.
BAB
II
IJTIHAD
DAN IJMA’
I.
Tujuan
Umum Dan Tujuan Khusus
Setelah
mempelajari Bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memiliki pemahaman dan
pengetahuan tentang ijtihad sebagai sumber hukum islam yang ketiga.secara
praktis dan spesifik mahasiswa juga diharapkan mampu menjelaskan pengertian
ijtihad secara etimologis dan terminologis, mampu menyebutkan dan menjelaskan syarat-syarat dan hukum-hukum
ijtihad,mampu menyebutkan fungsi dan kedudukan ijtihad ,serta mampu
membandingkan perbedaan antara ijtihad dengan ijma”,qiys,istihsan,istihsab,dan maslahan mursalah.
II.
Ijtihad
A.
Pengertian
ijtihad
Ijtihad
berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan
yang berarti bersungguh-sungguh,rajin,giat. Sedangkan secara etimmologis ijtihad berarti
berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mencurahkan tenaga dan pikiran untuk
menetapkan hukum syara’ dari suatu masalah yang bersumber pada Al-Qur’an dan
hadist.
Menurut
imam al Ghajali ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan
hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan hukum dari kitab dan sunnah.Banyak
masalah yang belum ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun
As-sunnah,sehingga umat muslim diberi kebebasan untuk menggunakan daya pikirnya
dalam rangka manginterprestasi dan menentukan hukum yang belum ada dalam
Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Dalam
Q.S An-nisa ayat 105 Allah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya kami telah
menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu”. Nabi muhammad saw juga
bersabda “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad,kemudian
ia benar,maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan
jalan ijtihad namun salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
Tanpa
ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena
tidak ditemukan hukumnya didalam Al-qur’an dan Hadist.Misalnya tentang niat
shalat,para ulama sepakat bahwa shalat tidak sah tanpa ada niat.Hasil ijtihad
suatu masalah,antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain mungkin
berbeda.hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang ,berbedanya kondisi
masyarakat,dan berbedanya latar belakang disiplin pengetahuan yang
dimiliki.Seperti Mazhab Maliki dan Syafi’i menetapkan bahwa niat merupakan
rukun shalat.Sedangkan menurut Mazhab Hanafi dan Hambali menetapkan bahwa niat
merupakan salah satu syarat shalat.
Hasil
ijthad terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain mungkin
berbeda. Disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang terhadap suatu
masalah yang dicarikan hukumnya, berbedanya kondisi masyarakat, dan berbedanya
latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki.
B.
Hukum Ijtihad
Hukum
ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi;
·
Pardhu A’in untuk
berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya dan jika ditanyakan
tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
·
Pardhu Kifayah untuk
berijtihad jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan
habis waktunya.
·
Sunnah apabila berijtihad
terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.
·
Haram apabila berijtihad
terhadap permasalhan yang sudah ditetapkan secara Qat’I, sehingga hasil ijtihad
itu bertentangan engan dalil syara.
C.
Syarat-syarat Ijtihad
Muslim
yang melakukan ijtihad di sebut mujtahid, agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan
bagi umat, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. yusuf Al-qardawi
(ahli usul dan fikih), menjelaskan bahwa persyaratan pokok untuk menjadi
mujtahid adalah:
·
Memahami Al-qur’an dan
asbabun nuzulnya (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Alqur’an ), serta ayat-ayat Nasikh
(yang menghapus hukum) dan Mansukh (yang dihapus)
·
Memahami hadits dan
sebab-sebab wurudnya (munculnya hadits-hadits), serta memahami hadits-hadits
nasikh dan mansukh
·
Mempunyai pengetahuan
yang mendalam tentang bahasa arab
·
Mengetahui
tempat-tempat ijmak
·
Mengetahui usul fikih
·
Mengetahui
maksud-maksud syariat
·
Memahami masyarakat dan
adat istiadatnya, bersifat adil dan taqwa
Selain delapan syarat tersebut beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi , yaitu:
·
Mendalami ilmu Ushuluddin
(ilmu tentang akidah islam )
·
Memahami ilmu mantik
(logika ),
·
Mengetahui
cabang-cabang fikih
D.
Tingkatan-Tingkatan mujtahid
Secara
umum tingkatan mujtahid dapat dikelompokkan menjadi;
·
Mujtahid
Mutlak atau mustaqil, yaitu seorang mujtahid
yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan
ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara', dengan tanpa terikat kepada
mazhab apapun. (mujtahid fard /perseorangan).
·
Mujtahid Muntasib, yaitu
mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam
melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu mazhab dengan mengikuti
jalan yang ditempuh oleh mazhab tersebut.
·
Mujtahid Fil Mazahib,
yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya mengikuti kaidah yang digunakan oleh imam
mazhabnya dan ia juga mengikuti imam mazhabnya dalam masalah furu'. Terhadap
masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh imam mazhabnya, terkadang
ia melakukan ijtihad sendiri.
·
Mujtahid
Murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan
hukum suatu masalah berdasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabnya.
E.
Fungsi
Ijtihad dalam Islam
Fungsi ijtihad ialah
untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara
pasti di dalam A-lqur’an dan hadits.
Begitu pula dewasa ini, kehidupan
dimulai dari realita. Kita tidak mulai pembaruan dari teks, tidak dari agama,
akidah ataupun dari syari`at. Ini adalah metode Islam ketika kita mencermati
metode Asbab Al-nuzul (konteks sosial atau sebab-sebab turunnya wahyu), dan nasikh
wa al-mansukh (ayat yang menghapus dan ayat yang dihapus).
Asbab al-nuzul berarti memperhatikan
dan memprioritaskan realita atas teks, memperhatikan pertanyaan daripada
jawaban. Seperti ayat-ayat wa yas`alunaka `anil khamr (mereka bertanya kepadamu
mengenai khamer/minuman keras), wa yas`alunaka `anil mahid (menstruasi), wa
yas`alunaka `anil anfal.. dst. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya
fungsi ijtihad dewasa ini ialah sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum
islam yang tidak tercantum secara jelas dalm Al-Quran dan Al-Hadist.
F.
Bentuk-Bentuk
Ijtihad
Ijtihad
dibedakan menjadi beberapa bentuk di antaranya adalah, ijma', qisy, istihsan istihsab, dan Maslahah Mursalah.
·
Ijma',
yaitu kesepakatan para ulama dalam
menetapkan suatu masalah yang tidak diterangkan
dalam Al-Qur'an dan Hadist setelah Rasulullah saw wafat , yang dilakukan dengan
cara musyawarah.
·
Qiyas,
yaitu menganalogi atau menyamakan
permasalahan yang terjadi dengan masalah lain yang sudah ada hukumnya karena
ada kesamaan sifat atau alasan.
·
Istihsan, yaitu
menetapkan suatu hukum suatu masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam
Al-Qur'an dan Hadist, yang didasarkan atas kepentingan/kemaslahatan umum.
·
Intiqai,
yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa
pendapat yang ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan meneliti
dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan. Disebut juga ijtihad selektif.
·
Insyai,
yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada
ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
·
Istihsab,
yaitu meneruskan berlakunya hukum yang
telah ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut
·
Maslahah
mursalah, yaitu perkara yang perlu dilakukan demi
kemaslahatan sesuai dengan maksud syara' dan hukumnya tidak diperoleh dari
dalil secara langsung dan jelas.
III. Ijma’
A.
Pengertian Ijma’
Ijma’
menurut bahasa adalah ”sepakat atas sesuatu ”, sedangkan ijma’ secara istilah
para ulama Ushul fiqh adalah kesempakatan para mujtahid di kalangan umat islam
pada suatu masa setelah rasulullah wafat atas hukum syara’ pada peristiwa yang
terjadi. Dalam difinisi tersebut bahwa ijma’ baru akan terbentuk apabila ada
kesepakatan dari para ulama, dan waktunya sesudah wafat Nabi Muhammad karena
pada masa Nabi masih hidup ketetapan hukum langsung merujuk kepadanya akan
tetapi setelah beliu wafat harus ada kesepakan dari beberapa ulama.
B.
Rukun Ijma’
·
Adanya beberapa pendapat yang yang menjadi suatu masa
tertentu
·
Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum
muslimin atas suatu hukum syara’ mengenai suatu perkara hukum pada waktu
terjadinya tampa memandang tempat, kebangsaan dan kelompok mereka
·
Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan atau
perbuatan
·
Kesepatan dari seluruh mujtahid itu benar-benar teralisir,
apabila hanya sebagian saja dari mereka maka tidak terjadi ijma’. Menurut Abdul
Wahab Khalaf ijma ’ tidak mungkin terjadi apabila diserahkan hanya kepada
seseorang, dan munkin terjadi apabila diserahkan kepada pemerintah islam,
masing-masing ditanya pendapatnya, dan mujtahid mengukapkan pendapatnya dan
kebetulan pendapatnya mereka sama, maka pendapat itu menjadi ijma’ dan hukum di
ijma’kan itu menjadi hukum syara’ yang wajib di ikuti oleh kaum muslimin.
C.
Macam-macam ijma’
·
Al-Ijma’ As Sarih adalah kesepakatan para mujtahid
pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapatnya
masing secar jelas, baik dengan perkatan ataupun dengan tulisan atau dengan
perbuatan.
·
Al-Ijma’ As Sukuty adalah jika sebagian mujtahid itu
berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu
bukan karena takut, segan atau karena malu, akan tetapi diamnya itu karena
karena betul-betul tidak menangapi atas pendapat yang lain, baik menyetujuai
atau menolaknya
D.
Kedudukan dan kehujjahanya.
Para
ulama menetapkam bahwa kedudukan ijma’ sebagai hujjah terletak dibawah deretan
Al Qura’an dan As Sunah. Ijma tidak boleh menyalahi nas yang qat’i jumhur. Ulama
mengatatakan bahwa hanya ijma’ sharih saja dapat dijadikan sebagi hujah
syari’ah, akan tetapi ulama hanafiah menbolehkan hujah sukuti sebagai menjadi
hujjah. Kebanyakan ulama berpendapat nilai kehujjahan ijma’ adalah dzanni.
BAB
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Ijtihad berasal dari
kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan
yang berarti bersungguh-sungguh,rajin,giat. Sedangkan secara etimmologis ijtihad berarti
berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mencurahkan tenaga dan pikiran untuk
menetapkan hukum syara’ dari suatu masalah yang bersumber pada Al-Qur’an dan
hadist.
Ijma’ menurut bahasa adalah ”sepakat
atas sesuatu ”, sedangkan ijma’ secara istilah para ulama Ushul fiqh adalah
kesempakatan para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah
rasulullah wafat atas hukum syara’ pada peristiwa yang terjadi. Dalam difinisi
tersebut bahwa ijma’ baru akan terbentuk apabila ada kesepakatan dari para
ulama.
Fungsi
ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil
hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits. Ijtihad dibedakan menjadi
beberapa bentuk di antaranya adalah, ijma',
II.
Saran
Selaku umat islam yang memegang teguh
ajaran baginda rasulullah yang berpedoman pada Al-qur’an dan hadist hendaklah
kita menjunjung dan menaati peraturan agama, segala aspek kehidupan kita harus
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam islam. Ketentuan yang kita patuhi
dapat berupa yang tercantum dalam Al-qur’an dan hadist maupun peraturan yang
telah di-Ijtihadkan oleh para ulama atau mujtahidin.
III.
Review
Setelah pemaparan materi mengenai
Ijtihad dan Ijma’ dalam presentasi di kelas, kami melakukan diskusi bersama kelompok
lain demi menunjang kesempurnaan makalah ini. Dalam diskusi ini ada beberapa
pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain kepada kami antara lain :
·
Apakah mamfaat daripada
Ijtihad? ( kelompok V )
·
Dalam kehidupan
sehari-hari, apakah Ijtihad sudah diterapkan?
(
Kelompok V )
·
Sebutkan dalil Naqli
tentang Ijtihad. ( kelompok IV )
Jawaban
dari kelompok kami setelah direvisi oleh dosen pembimbing
·
Manfaat ijtihad ialah
untuk menetapkan hukum sesuatu permasalahan yang tidak ditemukan dalil dan hukumnya
secara pasti di dalam Al-qur’an dan hadits untuk mengatasi problematika dalam
kehidupan.
·
Dalam kehidupan
sehari-hari Ijtihad sudah sangat berlaku seperti diharamkanya Ganja untuk
digunakan, memang di dalam Al-qur’an tidak terdapat dalil yang jelas tentang
haramnya Ganja tapi segala hal yang memabukkan diharamkan di dalam agama islam
dan inilah yang dijadikan sebagai dasar.
·
Dalil tentang Ijtihad
terdapat dalam Al-qur’an dan hadist yakni :
Q.S
An-nisa ayat 105 Allah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu”.
Sabda rasulullah “Apabila seorang
hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad,kemudian ia benar,maka ia
mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad
namun salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar